Wednesday, April 3

di titik nadir

Aku teringat malam panjang itu ketika kamu dengan gaya khasmu itu bertanya kepadaku, "Kamu pernah merasa jatuh yang tak pernah sampai ke dasar?" Aku meresapi kalimatmu dan mencoba membayangkan. Seketika itu yang terbenak adalah minggu lalu ketika Dena keponakan kecilku merengek memintaku mengajaknya ke Dufan. Esoknya dia bilang dia menyesal karena muntah beberapa detik setelah kami naik wahana hysteria.
Aku masih mengingatnya sementara kamu bicara lagi, "Aku rasa aku sedang merasakannya."
Aku merasakan suaramu sedikit bergetar dan tanpa sadar tanganku membelai lembut rambutmu, pelan. Kamu kemudian memelukku dan aku membalasnya. Hening. Kemudian kurasakan kemeja yang kukenakan basah di bagian pundak. Kamu menangis tanpa suara. Kupererat pelukanku dan kurasakan tanganmu mencengkeram semakin kuat.
"Kemarin aku sempat berfikir untuk menerima lamaran Bayu saja." Kamu melepas pelukanku dan mengusap air mata di pipimu. Merah.
"Aku rasa hanya itu jalan satu-satunya. Kamu tahu?" katamu kemudian.
"Tidak. Lebih tepatnya aku tidak mau tahu."
"Kamu bahkan nggak berniat menikahiku!" katamu sedikit berteriak. Kamu mulai tak terkontrol. Aku harus sabar.
"Kamu nggak akan bisa menyelamatkan aku dari semua yang memuakkan ini. For sure, all you can do is nothing." Kamu tahu keheninganku selalu membuatmu semakin meracau. Aku mencoba mengatur emosiku sementara kemarahanmu memuncak. "Aku tak tahan lagi," katamu lalu berdiri, kamu hendak pergi.
"Sebaiknya kamu nggak usah berurusan denganku lagi. I am just a big trouble," kakimu melangkah.
Aku berdiri dan meraih tangan kirimu, mencegahmu. "Aku nggak pernah mengeluhkan apapun tentang kamu. Aku hanya ingin kamu tahu, seseorang ini ada dan mau melakukan apa saja denganmu. Nggak hanya saat kamu senang, nggak hanya ingin bersenang-senang. Mau semenderita apapun, seberat apapun, segila apapun itu, seseorang ini hanya ingin selalu bersama kamu."
Kamu meneteskan air mata lagi. Senyummu yang sangat manis terlihat di antaranya.

No comments:

Post a Comment