Saturday, July 25

Dua Muka

Rasa-rasanya ingin kulempar tanya padamu. Pada satu makhluk Tuhan yang tercipta nyaris sempurna. Apakah di balik ketiadacacatan itu kau layak bersedih? Kau diberi nikmat nyaris tanpa perlu banyak berusaha. Entahlah apa itu yang kau sebut jengah. Toh kenyataannya waktumu penuh suka cita.
.
Sedikit sentilan bagiku wajar saja. Toh kau pun tak sampai mati. Sakit yang meninggalkan bekaspun tak akan seberapa. Tahun demi tahun berganti. Kau pernah bilang saat itu, inilah saat-saat ter-tiarap dalam hidupku. Namun saat ini sepertinya kau sudah lupa dengan berkata, sekaranglah yang ter-jatuh.
.
Banyaklah bersyukur, maka Tuhan kan tambahkan nikmat.
.
2015. Apakah bertahun lagi akan ditemukan mesin waktu, yang mereka kisahkan di film-film? Kau berbisik, cukup mesin penghapus kenangan. Kubilang, mulailah dengan menghapus jejak data negatif di ponselmu. Ah. Seharusnya kau coba hidup pada jamanku. Tanpa ponsel pintar. Tanpa media sosial.
.
Bukankah Tuhan sedang mengabulkan doa-doamu?
.
Sekarang waktumu lebih tersita untuk menghitung. Banyak menghitung. Hari. Tabungan. Harga. Modal. Sedang kau lupakan apa yang kau fikir ketika mulai berkomitmen. Benar adanya mencari hal-hal fana untuk dipersalahkan jauh lebih enteng. Fokus. Pada penyelesaianlah. Bukan pada masalahnya.
.
Demotivasi.
.
Enyahlah.

Wednesday, February 11

Noted.

Bila sungguh benar jika mereka mengambil garis lurus atas dua tiga premis yang saling berhubungan, maka kau bisa berkata ini salah. Atau menyebut itu benar. Yang terlintas bahwasanya manusia tak banyak bahagia tapi mengutuk. Untuk mendamba yang lebih nikmat dari pencapaian-pencapaian kecil bak tak ada rasa. Bertuju keluh kesah penuh drama. Melakukan pengharapan-pengharapan semu yang pada titik terbodohmu pun kau yakin kau tak akan pernah mendapatkannya. Hanya saja beberapa kelas motivasi yang pernah diambil menutup matamu lekat-lekat. Mimpi tepat di pelupuk mata. Persetan dengan penglihatan mata kuda di titik sembilanpuluh derajat! Ah! Jangankan sembilanpuluh, limabelas pun mungkin tidak.

Sadarlah! Camkan ini.
Saat kepingan-kepingan puzzle mulai menyatu dan benang merah mulai tersambung, teliti lagi. Untuk kedua kali, atau ketiga lebih baik. Apakah potongan-potongan itu membentuk satu gambar? Apakah dengan sengaja kau buat potongan itu sedemikian rupa sehingga apa yang kau lihat dalam pikiran-pikiran jahatmu itulah yang terbentuk?
Berhenti menghubung-hubungkan sesuatu.

Membatasi diri dengan pencegahan atas permasalahan dengan orang lain.
Sudah cukup ikut campurnya.

Saat diri mulai terlena akan zona nyaman yang telah susah payah dibangun. Jumawa akan aktualisasi diri, rendahhati-lah. Kau pikir kau sudah secukup tingginya pengakuan dirimu?
Jangan pernah merasa sudah cukup baik.

Bertahun tak bertemu seorang kawan. Tak sadar waktu membuat perubahan. Bertingkah selayaknya semalam adalah pertemuan terakhir. Menghakimi orang sebagai awam.
Tahan kata-kata kasarnya.

Kau pernah sakit dan lukanya masih membekas. Membeli beberapa novel hanya untuk tertumpuk di atas meja. Mainan-media-sosial-dan-semacamnya-itu, masih lebih menantang.
Buat apalagi ingin tahu?

Lagi-lagi membuang waktu melihat hal-yang-dahulunya- tidak perlu dilihat.
Merasa berbeda.
Merasa terasing.
Padahal kamulah batasan itu. Kamulah yang membatasi diri.

Menggantungkan diri pada orang lain?
Tidak lagi.

Gunakan waktumu.
Jangan lupa bahagia.