Friday, December 16

menuju pertemuan ketujuh - keputusan

aku ingat pertama kali kita bertemu, di stasiun. Kemudian menaiki kereta yang sama. Kamu bersama teman-temanmu, aku dengan Wulan. Beberapa detik saling berpandangan. Kamu bilang meninggalkan ingatan manis. Memoriku tak bergaris.

23 tahun yang lalu, saya 15 tahun
"Kamu tahu, Jeng, aku bisa melihat masa depan. Kamu mau aku meramalmu, hmm?"
Kamu berbicara sambil memegang tanganku, lalu membalik telapaknya, menelurusuri garis-garis tangan, itu kencan pertama kita.
"Di masa depan kamu menjadi ibu dari anakku."
Aku menatapmu dengan setengah terkejut, seketika pipiku memerah.
"Hanya kamu yang aku inginkan, bisakah kita berdua, bersama selamanya?"

* * *

"Aku nggak selingkuh, asal kamu tahu."
Andita membuka pembicaraan. Dera masih diam sementara raut mukanya mulai terlihat tak nyaman.
"Hanya aku nggak bisa membohongimu, kemarin dia menciumku, dan aku nggak menolak."
Dera masih terdiam walaupun terlihat api kemarahan membuncah dari wajahnya.
"Kamu ingin meninggalkan aku? Kamu punya hak ...."
"Diam!"
"Dera, aku mencintai kamu, hanya kamu."
Nafas Dera menderu, terbata dia berkata, "Nggak ada pilihan... Selain, meninggalkanmu, maaf."


Hei, iya, kamu benar. Ini yang terbaik. Biarkan seperti ini. Benci aku.
Hei, apa kamu benar-benar telah pergi? Iya kemudian kamu tak nampak lagi.

Lalu tumpahlah air mata dari pipi mungil Andita.