Wednesday, February 13

...a fear of judgement

esok Nanta akan menikahiku.

Malam ini ruangan tamu dihiasi bunga-bunga serba putih, dengan meja panjang di tengahnya. Para kerabat sibuk berlalu lalang sementara aku tidak melakukan apa-apa. Beberapa anak berlarian sambil tertawa melengking. Baby pasangan Nada dan Galih menangis kencang. Aku hendak menghampirinya.

Tapi tangisannya tiba-tiba mengingatkanku pada sesuatu. Sekejab kemudian aku sudah mengirimkan pesan singkat pada Nanta: temui aku sekarang di tempat biasa.

* * *

"Ada apa?"
"Karena besok kita akan menikah, sebaiknya aku mengatakan sesuatu."
Nafasku tersenggal tapi aku berusaha tenang. Nanta melihat aku malah seperti kedinginan sehingga dia mengenakan baju hangatnya kepadaku.
"Kamu cantik." sahutnya begitu kami bertatapan. Nanta begitu sering memujiku. Ah, Nanta. Nanta.
"Nan... Aku pernah hamil dengan Josh."
Nanta nampak sangat terkejut. Aku membuang muka, melihat di hadapanku hamparan pantai di gelapnya malam. Beberapa perahu nelayan menjauhi pantai. Apa yang kulakukan?
Beberapa detik setelahnya hanya terdengar suara ombak memecah keheningan. Aku menoleh. Nanta masih terdiam dengan raut muka teduhnya. Air mukanya seperti menulis sesuatu. Yang ini aku tak bisa membaca. Mungkin huruf A, atau O? Ah, mengapa kau tak bicara saja?
"Ah, itu artinya kamu bohong juga ketika mengatakan kepadaku bahwa dia sudah tak mencintaimu lagi? Aku tahu benar lelaki brengsek itu masih mengharapkanmu. Bahkan setelah dua tahun."
"Tidak Nan, dia bilang dia telah benar-benar melupakanku ketika dia mulai mengencani Tasha."
"Kamu bodoh. Aku fikir kamu sudah mengetahui aku dengan benar. Aku bukan kamu yang lebih suka tidak mengetahui apa-apa." Nanta berbicara panjang lebar, tapi nadanya masih datar. Aku sadar Nanta sangat ahli dalam mengatur egonya.
"Nan aku sungguh-sungguh minta maaf..." air mataku mulai menetes dan aku mulai sesenggukan.
Nanta tak bergerak. Sebenarnya dia sangat tidak kuat melihatku menangis. Tapi kali ini dia tak memelukku.
"Apa kita akan batal menikah?" aku memegang tangan Nanta, menariknya untuk memelukku. Nanta tak menolak.

Suara ombak menghujam karang malam itu terdengar sangat pilu.

No comments:

Post a Comment