Rasa-rasanya ingin kulempar tanya padamu. Pada satu makhluk Tuhan yang tercipta nyaris sempurna. Apakah di balik ketiadacacatan itu kau layak bersedih? Kau diberi nikmat nyaris tanpa perlu banyak berusaha. Entahlah apa itu yang kau sebut jengah. Toh kenyataannya waktumu penuh suka cita.
.
Sedikit sentilan bagiku wajar saja. Toh kau pun tak sampai mati. Sakit yang meninggalkan bekaspun tak akan seberapa. Tahun demi tahun berganti. Kau pernah bilang saat itu, inilah saat-saat ter-tiarap dalam hidupku. Namun saat ini sepertinya kau sudah lupa dengan berkata, sekaranglah yang ter-jatuh.
.
Banyaklah bersyukur, maka Tuhan kan tambahkan nikmat.
.
2015. Apakah bertahun lagi akan ditemukan mesin waktu, yang mereka kisahkan di film-film? Kau berbisik, cukup mesin penghapus kenangan. Kubilang, mulailah dengan menghapus jejak data negatif di ponselmu. Ah. Seharusnya kau coba hidup pada jamanku. Tanpa ponsel pintar. Tanpa media sosial.
.
Bukankah Tuhan sedang mengabulkan doa-doamu?
.
Sekarang waktumu lebih tersita untuk menghitung. Banyak menghitung. Hari. Tabungan. Harga. Modal. Sedang kau lupakan apa yang kau fikir ketika mulai berkomitmen. Benar adanya mencari hal-hal fana untuk dipersalahkan jauh lebih enteng. Fokus. Pada penyelesaianlah. Bukan pada masalahnya.
.
Demotivasi.
.
Enyahlah.
Saturday, July 25
Wednesday, February 11
Noted.
Bila sungguh benar jika mereka mengambil garis lurus atas dua tiga premis yang saling berhubungan, maka kau bisa berkata ini salah. Atau menyebut itu benar. Yang terlintas bahwasanya manusia tak banyak bahagia tapi mengutuk. Untuk mendamba yang lebih nikmat dari pencapaian-pencapaian kecil bak tak ada rasa. Bertuju keluh kesah penuh drama. Melakukan pengharapan-pengharapan semu yang pada titik terbodohmu pun kau yakin kau tak akan pernah mendapatkannya. Hanya saja beberapa kelas motivasi yang pernah diambil menutup matamu lekat-lekat. Mimpi tepat di pelupuk mata. Persetan dengan penglihatan mata kuda di titik sembilanpuluh derajat! Ah! Jangankan sembilanpuluh, limabelas pun mungkin tidak.
Sadarlah! Camkan ini.
Saat kepingan-kepingan puzzle mulai menyatu dan benang merah mulai tersambung, teliti lagi. Untuk kedua kali, atau ketiga lebih baik. Apakah potongan-potongan itu membentuk satu gambar? Apakah dengan sengaja kau buat potongan itu sedemikian rupa sehingga apa yang kau lihat dalam pikiran-pikiran jahatmu itulah yang terbentuk?
Berhenti menghubung-hubungkan sesuatu.
Membatasi diri dengan pencegahan atas permasalahan dengan orang lain.
Sudah cukup ikut campurnya.
Saat diri mulai terlena akan zona nyaman yang telah susah payah dibangun. Jumawa akan aktualisasi diri, rendahhati-lah. Kau pikir kau sudah secukup tingginya pengakuan dirimu?
Jangan pernah merasa sudah cukup baik.
Bertahun tak bertemu seorang kawan. Tak sadar waktu membuat perubahan. Bertingkah selayaknya semalam adalah pertemuan terakhir. Menghakimi orang sebagai awam.
Tahan kata-kata kasarnya.
Kau pernah sakit dan lukanya masih membekas. Membeli beberapa novel hanya untuk tertumpuk di atas meja. Mainan-media-sosial-dan-semacamnya-itu, masih lebih menantang.
Buat apalagi ingin tahu?
Lagi-lagi membuang waktu melihat hal-yang-dahulunya- tidak perlu dilihat.
Merasa berbeda.
Merasa terasing.
Padahal kamulah batasan itu. Kamulah yang membatasi diri.
Menggantungkan diri pada orang lain?
Tidak lagi.
Gunakan waktumu.
Jangan lupa bahagia.
Sadarlah! Camkan ini.
Saat kepingan-kepingan puzzle mulai menyatu dan benang merah mulai tersambung, teliti lagi. Untuk kedua kali, atau ketiga lebih baik. Apakah potongan-potongan itu membentuk satu gambar? Apakah dengan sengaja kau buat potongan itu sedemikian rupa sehingga apa yang kau lihat dalam pikiran-pikiran jahatmu itulah yang terbentuk?
Berhenti menghubung-hubungkan sesuatu.
Membatasi diri dengan pencegahan atas permasalahan dengan orang lain.
Sudah cukup ikut campurnya.
Saat diri mulai terlena akan zona nyaman yang telah susah payah dibangun. Jumawa akan aktualisasi diri, rendahhati-lah. Kau pikir kau sudah secukup tingginya pengakuan dirimu?
Jangan pernah merasa sudah cukup baik.
Bertahun tak bertemu seorang kawan. Tak sadar waktu membuat perubahan. Bertingkah selayaknya semalam adalah pertemuan terakhir. Menghakimi orang sebagai awam.
Tahan kata-kata kasarnya.
Kau pernah sakit dan lukanya masih membekas. Membeli beberapa novel hanya untuk tertumpuk di atas meja. Mainan-media-sosial-dan-semacamnya-itu, masih lebih menantang.
Buat apalagi ingin tahu?
Lagi-lagi membuang waktu melihat hal-yang-dahulunya- tidak perlu dilihat.
Merasa berbeda.
Merasa terasing.
Padahal kamulah batasan itu. Kamulah yang membatasi diri.
Menggantungkan diri pada orang lain?
Tidak lagi.
Gunakan waktumu.
Jangan lupa bahagia.
Friday, November 7
Monday, September 22
We Are (not) Twin :D
Judul di atas adalah salah satu judul album foto di facebook saya--berisi foto-foto saya bersama adik satu-satunya, Ellen Nita Vindriana. So, let me itroduce you, my-most beautiful-one and only-younger sister:
Lebaran Hari Kedua, 2014 |
She loves singing and eating. Loves her boyfriend too (Long last!) :* Shopping as always. Moody (?) but She's adorable at all.
Selisih umur hampir 3 tahun ngga bikin saya sama dia beda jauh. Mulai dari ukuran celana, baju, sampai sepatu, kami punya ukuran yang sama. Tinggi badannya yang lebih tinggi dan muka yang (sedikit) lebih lebar sering banget bikin orang mengira dia kakak saya. Tapi yang bilang dia kakak saya masih kalah banyak dengan yang bilang kami twin. Sebelum saya berhijab, sebelum akhir tahun 2012 tepatnya. Mama yang selalu dan selalu kasih baju yang sama (tapi beda warna) di setiap waktu dan kesempatan--sukses bikin kami jadi "kembar":
Our Older Sister Engagement, Januari 2012 |
Saya anak kedua dari tiga bersaudara, semuanya cewek. Dengan kakak selisih hampir 6 tahun, mungkin karena itu saya jadi lebih dekat dengan adik saya. Dari kecil, saya ngiri dengan dia. Dari hal-hal kecil tentang dia lebih cantik, dia lebih disayang oleh papa dan mama. Semuanya. Kami sering bertengkar untuk hal-hal yang sama sekali nggak penting. Kalo inget kelakuan saya dulu ke dia, jahat. Hahaha. Pernah saking sebelnya dulu saya gunting dasi di baju seragam pelaut TK-nya. Entah dulu apa penyebabnya.
Seiring kami berdua beranjak dewasa, kami sudah semakin jarang bertengkar. Kami hidup terpisah selama saya kuliah di Jakarta. Kami tetap dekat dan setiap liburan selalu main dan belanja bersama, termasuk bersekongkol bersama, hahaha. Sampai waktu saya lulus kuliah dan 'menganggur' di rumah selama hampir satu tahun, saya inget banget, saya ngga ngobrol sama dia selama hampir seminggu--karena hal yang bisa dibilang cukup sepele. Saya nggak begitu inget penyebabnya, yang jelas kami akur setelah disidang berdua sama papa dan nangis-nangisan bareng.
We grow old together. Kami semakin dewasa pula karena hal itu.
Kami punya pikiran yang sama. Kami men-cacat orang bersama, tentang hal kecil, tentang semua hal. Kami suka gadis-gadis cantik di SNSD dan gadis-gadis seksi bersuara merdu di Sistar. Kami memuji orang-orang yang sama. Kami selalu bersekongkol--untuk tidak ikut dalam acara keluarga di luar kota (yang kami pikir sudah pasti membosankan)--dan kami akan tinggal berdua di rumah saja--dan bangun siang tentunya. Kami saling mengolok tentang baju, dandanan--demi kebaikan katanya. Kami saling memanggil dengan kata kotor seperti, "cuki", "bitch", dsb. Kami benar-benar bukan pasangan kakak beradik yang ideal.
Sampai pada saatnya kami harus berpisah lagi karena saya ditempatkan di kantor pusat di Jakarta. Frekuensi kepulangan saya ke rumah menjadi semakin kecil. Kami tidak mengucap rindu dengan berlebihan. Hanya dengan kalimat pembuka, "Eh wis ndelok MV Sistar a?" (Eh, sudah nonton MV (baru) Sistar belum?) atau, "Eh, Si Xxxx pacare anyar yo? Kapan putuse ambe sing mbiyen?" (Eh, Si Xxx punya pacar baru ya? Kapan putus sama yang lama?) semacam itu kemudian kami larut chatting tentang berbagai hal.
Ketika saya kembali ke Jakarta, dia akan bilang, "Aku wedi turu lampune mati." (Aku takut tidur kalau lampunya mati.) atau, "Aku wis ngerapino kamar, lek samean mulih kamare berantakan." (Aku sudah merapikan kamar (kita), kalau kamu pulang kamarnya berantakan.)
We share everything--waktu, cerita, duit, makanan, baju, tas, sepatu. Dia lebih muda, tapi saya sering meniru gayanya. Make up baru yang dia beli, saya akan ikut membelinya. Dia lebih muda, tapi dia yang selalu jadi sopir:
Nongkrong dan Belanja, jadi penumpang yang baik :D |
Sampai kemarin di ulang tahun saya yang ke-24, saya mendapatkan ini dari dia. Sampai nangis ngebacanya:
My 24th Birthday, 2014 |
Sahabat manapun nggak ada yang bisa menggantikan keluarga--dia. Dia yang sangat ngertiin saya. Dia yang saya benci 2-3 jam atau seminggupun--marah--saling memukul paha hingga menimbulkan bekas cap tangan--begitupun semenit kemudian kembali akur seperti sedia kala.
Hi, Sista. I am the happiest sister in the world. Thanks for this. This best sister-greeting ever. I wish for your long life too. I hope you get everything you wish. Yes, the distance won't be matter, absolutely. I miss you always. We'll counting together for our long last happiness. I won't forget you, No! You're my perfect sister. I love you XOXO
Thursday, June 19
kini
.
.
.
fajar tak pernah tak sesegar ini. bak terbangun di suatu ruangan sempit yang tak kau kenali. satu dua tiga empat dan lima detik kemudian barulah tersadar bahwa bau-bau yang sama yang tercium. bertahun lamanya. papan kayu dengan gagang pintu tertutup rapat. dingin.
.
mimpi semalam indah. hamparan pasir berwarna putih. lautan biru dengan suara ombak yang lembut. seorang gadis dengan celana pendek berlari di tepian pantai itu. sejenak kemudian lelaki berkaus biru mengejarnya dan memegang tangannya lembut. kemudian mereka tertawa bersama.
.
pukul dua belasmu diawali dengan kefakiran semangat. mungkin benar yang mereka bilang bahwasanya pagimu menentukan satu harimu. yang terasa hanya putaran cacing-cacing pita dalam perutmu. menggerogoti. menjadikan tubuh inang. parasit kau bilang. lalu terjadi transfer gigitan-gigitan itu ke seluruh tubuh. lunglai. sekejab menit kemudian apa yang barusan keluar dari mulut barusan tengah sukses membuat air mata berurai.
.
bagus karena cubitan-cubitan kecil itu sudah tak terasa lagi.
.
senja. bagian dari satu hari yang paling kau gemari. duduk di tempat yang sama tanpa melakukan apa-apa. mungkin tangan ini juga berontak karena merasa tak teracuh. tak terindahkan. surat dengan amplop berwarna hitam yang tak wajar terbuka lagi. goresan-goresannya bertinta merah: "larilah sekencangmu dan butalah selamanya atau mati suri dahulu untuk hari esokmu berwarna."
.
kamu tak pernah benar-benar bisa memilih. persimpangan di depan mata.
.
malam pun tak pernah semuram ini. mungkin di sana kau lihat langit dan bintang balas tersenyum. tapi disini gelap. jangankan senyuman. kilau sinarnya bahkan tak terlihat. tik tok tik tok tik tok. sangkala berlari. kamu bergeming. sejenak. kemudian melangkah ke belakang. dua-empat-dan tak terhitung. semakin lama semakin cepat. durjamu berganti guratan senyum. beranjak gelak tawa. kemudian kau tersadar telah terjebak dalam sangkala masa itu yang dalam memorimu tanpa cacat.
.
bahkan kau benar lupa bahwa sangkala waktu tak menjebakmu. namun apa yang kau perbuat. berulang. berkali. menjadi leluri yang terpatri. mungkin kau sudah jadi orang besar sekarang. dan lalu kau hempas bena kecil yang banyak dan telah membesarkanmu.
.
dini hari. kau basuh wajahmu kau seka air dari matamu yang membengkak. membentangkan sajadah dan mulai bersujud. seperempat jam mengadu kepada Dia. Dia yang kau yakin tak pernah keji. kepadaNya yang tak pernah letih dimohon. pun searkais ini kau pernah lupa. terlena akan apa yang tak kekal.
.
sementara ini belum kau ketahui tendesi atas lara ini.
semoga esok kau temukan bestari.
.
.
.
bukan berlari dari kenyataan atau menutup mata.
tapi beri ampunan nyata. ayal. pelan. tak apa katanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)